Rabu, 26 November 2014

Makalah : Pendidikan Multikulturasi Perspektif Al-Qur'an

MAKALAH

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

Perspektif Al-Qur’an


TUGAS MATA KULIAH STUDI AL- QUR’AN


Dosen Pengampu:

Dr. H. Abdul Mustaqim, M.Ag


Description: F:\index.jpg


      








Oleh:

Mukhlisul Fatih
NIM: 1420410194



PRODI MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS PASCASARJANA
 UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014




KATA PENGANTAR

Segala puji hanya kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat kepada setiap hambanya. Diantara nikmat itu adalah terselesaikannya makalah yang sederhana ini. Makalah ini dibuat dengan harapan sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Study Al-Qur’an. Selain itu juga untuk bisa dijadikan sebagai bahan wacana buat teman-teman mahasiswa/i mengenai pemahaman pendidikan Multikulturalisme perspektif Al-Qur’an.
Maka dari makalah sederhana ini akan membahas tentang persoalan tersebut, namun pepatah lama mengatakan “tiada gading yang tak retak”, begitu juga makalah ini masih banyak kekurangan, baik dari segi pembahasan maupun sistematika penulisan. Oleh karena itu besar harapan saya, pembaca dapat memberikan saran bahkan ktritik yang membangun, agar dapat menambah khazanah keilmuan yang ada dalam makalah ini. Akhirnya semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.



DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………................. i
KATA PENGANTAR …………………………………………………….………. ii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………... iii
PENDAHULUAN ………………………………………………………..……….. 1
PEMBAHASAN ….………………………………………….………...………….. 3
A.  Pokok-pokok Permasalahan ........................................................................ 3
B.  Pengertian Multikulturalisme....................................................................... 4
C.  Nilai-nilai Pendidikan Multikultural dalam Al-Qur’an ............................... 6
 D. Implementasi pendidikan multikultural dalam pendidikan Islam .............. 10
PENUTUP ……………………….……………………...…..….……………...… 14
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….………….15

BAB 1
PENDAHULUAN


Al-Qur’an diwahyukan kepada Nabi Muhammad dan diteruskan kepada umatnya sebagai pedoman hidup. Risalahnya tidak hanya berisi aturan-aturan hidup saja, tetapi juga metode bagaimana menata dan mengorganisasikan kehidupan. Untuk itu ayat-ayat Al-Qur’an tidak hanya dipahami arti tekstualnya, tetapi harus dipelajari bagaimana metode enkulturasinya sebagai solusi masalah sosial waktu itu. Ajaran Al-Qur’an bagi masyarakat Arab waktu itu adalah model bagi tatanan ideal yang kemudian di transformasikan Nabi ke dalam sistem sosial masyarakat.[1]
Perubahan sosial dan tata kehidupan yang mengiringi perjalanan sejarah kehidupan umat manusia merupakan sunnah Allah, sehingga tidak mungkin kita menghentikan perubahan itu. Akibat semakin berkembangnya tehnologi informasi mendorong komunikasi dan interaksi antar budaya dan peradaban bangsa semakin intensif, maka globalisasi yang disertai dengan perubahan sosial secara massif merupakan arus sejarah yang tidak dapat dielakkan.[2]
Secara kasuistik, baru-baru ini negara kita mengadakan Pemilu, dari legislatif hingga pemilihan Presiden dan wakilnya serta pergantian Gubernur DKI Jakarta dari Jokowi kepada Ahok. Yang paling mutakhir adalah kenaikan harga BBM bersubsidi. Beberapa hal tersebut ternyata memberikan dampak yang luar biasa dalam pola pikir dan sudut pandang masyarakat serta pensikapannya. Sangat kita rasakan adanya “perpecahan” yang semakin kuat yang apabila tidak diantisipasi akan menimbulkan dampak yang lebih luas. Ada pula secara internal keber-agama-an adanya perbedaan pendapat yang muncul antara masyarakat Sunni dan Syi’ah, Katholik dan Kristen, dan realitas terdekat adalah antara dua organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam terbesar di Indonesia; NU dan Muhammadiyah. Belum lagi fenomena konflik etnis, sosial, budaya, yang kerap muncul di tengah-tengah masyarakat yang berwajah plural menyebabkan limpungnya arah pendidikan dimasa depan. Dengan perkembangan yang sedemikian rupa, wacana tentang pendidikan multikultural saat ini sering diperbincangkan disetiap kalangan, baik dari kalangan politik, agama, sosial, budaya, dan khususnya dikalangan para pemikir pendidikan.
Maka, menjadi keharusan bagi kita bersama untuk memikirkan upaya pemecahannya (solution). Termasuk pihak yang harus bertanggung jawab dalam hal ini adalah kalangan pendidikan. Pendidikan sudah selayaknya berperan dalam menyelesaikan masalah konflik yang terjadi di masyarakat. Minimal, pendidikan harus mampu memberikan penyadaran (consciousness) kepada masyarakat bahwa konflik bukan suatu hal yang baik untuk dibudayakan. Dan selayaknya pula, pendidikan mampu memberikan tawaran-tawaran yang mencerdaskan, antara lain dengan cara mendesign materi, metode, hingga kurikulum yang mampu menyadarkan masyarakat akan pentingnya sikap saling toleran, menghormati perbedaan suku, agama, ras, etnis dan budaya masyarakat indonesia yang multikultural. Sudah selayaknya pendidikan berperan sebagai media transformasi sosial, budaya dan multikulturalisme.[3]
Islam memberikan solusi, melalui Al-Qur’an mengajarkan hormat menghormati antara manusia satu dengan yang lain, tidak ada perselisihan di antara manusia, Islam adalah agama yang mengajarkan nilai-nilai yang universal dengan tujuan untuk memberikan rahmat bagi semesta alam, (rahmatan lil’alamin) sehingga terdapat ayat-ayat Al-Qur’an yang mengajarkan tentang perdamaian, kasih sayang, menghormati perbedaan, dan lain sebagainya.




BAB  II
PEMBAHASAN

A. Pokok-pokok Permasalahan
Dari latar belakang di atas, ada beberapa pokok permasalahan untuk dibahas dan dirumuskan sebagai berikut :
1.      Pengertian Pendidikan Multikulturalisme
2.      Ayat-Ayat Al-Qur’an terkait Multikultural
3.      Implementasi Pendidikan Multikultural dalam pendidikan Islam

B. Pengertian Pendidikan Multikulturalisme
1. Pengertian Multikultural
Multikultural adalah beberapa kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik.[4]
Baidhawy  menyimpulkan mengenai pengertian pendidikan multikultural. Menurutnya, ada dua istilah penting yang berdekatan secara makna dan merupakan suatu perkembangan yang sinambung, yakni pendidikan multietnik dan pendidikan multikultural. “Pendidikan Multietnik” sering dipergunakan di dunia pendidikan sebagai suatu usaha sistematik dan berjenjang dalam rangka menjembatani kelompok-kelompok rasial dan kelompok-kelompok etnik yang berbeda dan memiliki potensi untuk melahirkan ketegangan dan konflik. Sementara itu istilah “Pendidikan Multikultural” memperluas payung pendidikan multietnik sehingga memasukkan isu-isu lain seperti relasi gender, hubungan antar agama, kelompok kepentingan, kebudayaan dan subkultur, serta bentuk-bentuk lain dari keragaman. Kata “kebudayaan” lebih diadopsi dalam hal ini daripada kata “rasisme” sehingga audiens dari pendidikan multikultural semacam ini akan lebih mudah menerima dan mendengarkan.[5]
2. Pengertian Pendidikan islam
Berbagai pakar telah merumuskan tentang pendidikan Islam, sebagai berikut:
1.    Ahmad. D. Marimba mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.[6]
2.    Saefuddin Anshari mengatakan pendidikan Islam adalah proses bimbingan (pimpinan, tuntutan, susulan) oleh subjek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan dan kemauan, intuisi, dsb).[7]
3.    M. Yusuf al Qardawi mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya.[8]
4.    Ahmad Tafsir mendefinisikan pendidikan Islam sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.
Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah suatu sistem yang dapat mengarahkan kehidupan peserta didik sesuai dengan ideologi Islam.


C. AYAT-AYAT AL-QUR’AN MULTIKULTURAL
Memahami Islam dalam memandang dan menyikapi masalah-masalah sosial kemasyarakatan, hendaknya memperhatikan dua dimensinya :
Pertama : Dimensi Tekstual, artinya doktrin-doktrin atau nash-nash yang diberikan oleh Islam kepada umatnya, melalui ayat Al-Qur’an atau sunnatur rasul, juga petunjuk-petunjuk para sahabat nabi dan ulama melalui karya-karya ilmiah mereka
Kedua : Dimensi Kontekstual, artinya yang menyangkut kondisi dan situasi umat serta fenomena-fenomena sosial yang dipengaruhi oleh tuntutan wakytu dan tempat, sehingga menampilkan suatu citra tertentu terhadap islam.[9]

Berikut ini beberapa ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan Multikultural :
1. Belajar hidup dalam perbedaan
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu, dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah, ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Mengenal." (QS. Al-Hujuraat :13)
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah SWT telah menciptakan makhluk-Nya, laki-laki dan perempuan, dan menciptakan manusia berbangsa-bangsa, untuk menjalin hubungan yang baik. Kata ta’aarafu pada ayat ini maksudnya bukan hanya berinteraksi tetapi berinteraksi positif. Jadi dijadikannya makhluk dengan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah dengan harapan bahwa satu dengan yang lainnya dapat berinteraksi secara baik dan positif. Lalu dilanjutkan dengan …inna akramakum ‘indallaahi atqaakum.. maksudnya, bahwa interaksi positif itu sangat diharapkan menjadi prasyarat kedamaian di bumi ini. Namun, yang dinilai terbaik di sisi Allah adlah mereka itu yang betul-betul dekat kepada Allah.[10]

Dalam Al-Qur’an Surah Al-Maidah ayat 48 Allah berfirman:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيْهِ تَخْتَلِفُونَ (٤٨)٠
“Dan Kami telah menurunkan kitab (Al Qur'an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan”.

Al-Qur’an surah Ar-Ruum ayat 22:

وَمِنْ اٰيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذٰلِكَ لِايَاتٍ لِّلْعَالِمِيْنَ (٢٢)



“Dan di antara tanda-tanda (kekuasaan)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang-orang yang mengetahui”.

Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 62:
إِنَّ الَّذِينَ اٰمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ اٰمَنَ بِا للهِ وَالْيَوْمِ الْاخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ (٦٢)
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja (di antara) mereka yang benar beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari di sisi tuhan mereka, tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka berduka cita.

Pendidikan selama ini lebih diorientasikan pada tiga pilar pendidikan, yaitu menambah pengetahuan, pembekalan keterampilan hidup (life skill), dan menekankan cara menjadi “orang” sesuai dengan kerangka berfikir peserta didik. Realitasnya dalam kehidupan yang terus berkembang, ketiga pilar tersebut kurang berhasil menjawab kondisi masyarakat yang semakin mengglobal. Maka dari itu diperlukan satu pilar strategis yaitu belajar saling menghargai akan perbedaan, sehingga akan terbangun relasi antara personal dan intra personal. Dalam terminology Islam, realitas akan perbedaan tak dapat dipungkiri lagi, sesuai dengan Q.S. Al-Hujurat ayat 13 yang menekankan bahwa Allah SWT menciptakan manusia yang terdiri dari berbagai jenis kelamin, suku, bangsa, serta interprestasi yang berbeda-beda.

2. Membangun Saling Percaya dan saling pengertian.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَحِيْمٌ
"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu, memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat, lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Hujuraat :12)



Merupakan konsekuensi logis akan kemajemukan dan kehegemonikan, maka diperlukan pendidikan yang berorientasi kepada kebersamaan dan penanaman sikap toleran, demokratis, serta kesetaraan hak.
Implementasi menghargai perbedaan dimulai dengan sikap saling menghargai dan menghormati dengan tetap menjunjung tinggi rasa persatuan dan persaudaraan. Hal tersebut dalam Islam lazim disebut tasamuh (toleransi).
Ayat-ayat Al-Qur’an yang menekankan akan pentingnya saling percaya, pengertian, dan menghargai orang lain, diantaranya ayat yang menganjurkan untuk menjauhi berburuk sangka dan mencari kesalahan orang lain yaitu Al-Qur’an Surat al-Hujurat ayat 12 tersebut di atas.
Tidak mudah menjatuhkan vonis dan selalu mengedepankan klarifikasi (tabayyun) dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 6 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ اٰمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيْبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِيْنَ
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.[11]
An-naba’ dalam ayat ini berarti berarti berita yang masih belum pasti disampaikan pembawa berita itu. At-tabayyun adalah mencari penjelasan hakikat berita itu dan memeriksa seluk beluknya. Di sini terkandung faedah yang lembut, bahwa Allah tidak memerintahkan untuk menolak beriyta yang dibawa orang fasik, kebohongan atau kesaksiannya secara enyeluruh. Tapi hanya perintah meneliti atau tabayyun. Jika komparasi-komparasi dan bukti-bukti lain dari luar yang menunjukkan kebenarannya, maka berita yang dibawanya dapat dilaksanakan dengan bukti yang benar, mskipun ada berita lain.[12]

3. Menjunjung tinggi saling menghargai
Islam selalu mengajarkan untuk selalu menghormati, menghargai, dan berkasih sayang terhadap siapapun. Bahkan terhadap non muslim pun, Allah mengajari manusia melalui Al-Qur’an yang mulia. Hal ini dapat kita lihat dalam potongan ayat Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-An’am ayat 108:

 وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللهِ فَيَسُبُّوا اللهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Q. S. Al An'am: 108)
4. Terbuka dalam berpikir
Pendidikan seyogyanya memberi pengetahuan baru tentang bagaimana berfikir dan bertindak, bahkan mengadopsi dan beradaptasi terhadap kultur baru yang berbeda, kemudian direspons dengan fikiran terbuka dan tidak terkesan eksklusif. Peserta didik didorong untuk mengembangkan kemampuan berfikir sehingga tidak ada kejumudan dan keterkekangan dalam berfikir. Penghargaan Al-Qur’an terhadap mereka yang mempergunakan akal, bisa dijadikan bukti representatif bahwa konsep ajaran Islam pun sangat responsif terhadap konsep berfikir secara terbuka. Salah satunya ayat yang menerangkan betapa tingginya derajat orang yang berilmu yaitu Qur’an Surat Al Mujaadillah ayat 11 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ اٰمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَ اللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.[13]
Ayat yang menjelaskan bahwa Islam tidak mengenal kejumudan dan dogmatisme, hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 170 yang berbunyi :

وَإِذَا قِيْلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ اٰبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ اٰبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُوْنَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ

Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".[14]
5. Apresiasi dan Interdependensi
Karakteristik ini mengedepankan tatanan sosial yang care (peduli), dimana semua anggota masyarakat dapat saling menunjukan apresiasi dan memelihara relasi, keterikatan, kohesi, dan keterkaitan sosial yang rekat, karena bagaimanapun juga manusia tidak bisa survive tanpa ikatan sosial yang dinamis. Konsep seperti ini banyak termaktub dalam  Al-Qur’an, salah satunya Q.S. Al-Maidah (5): 2 yang menerangkan betapa pentingnya prinsip tolong menolong dalam kebajikan, memelihara solidaritas dan ikatan sosial (takwa), dengan menghindari tolong menolong dalam kejahatan.
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّوَالتَّقْوٰى ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللهَ ۖ إِنَّ اللهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.[15]
Redaksi ayat tersebut mengisyaratkan bahwa tolong menolong yang dapat mengantarkan manusia, baik sebagai individu atau kelompok, kepada sebuah tatanan masyarakat yang kokoh dalam bingkai persatuan dan kebersamaan adalah tolong menolong dalam hal kebaikan, kejujuran dan ketaatan.

6. Resolusi konflik dan rekonsiliasi nirkekerasan
Konflik dalam berbagai hal harus dihindari, dan pendidikan harus mengfungsikan diri sebagai satu cara dalam resolusi konflik. Adapun resolusi konflik belum cukup tanpa rekonsiliasi, yakni upaya perdamaian melalui sarana pengampunan atau memaafkan (forgiveness). Pemberian ampun atau maaf dalam rekonsiliasi adalah tindakan tepat dalam situasi konflik komunal. Dalam ajaran Islam, seluruh umat manusia harus mengedepankan perdamaian, cinta damai dan rasa aman bagi seluruh makhluk. Juga secara tegas Al-Qur’an menganjurkan untuk memberi maaf, membimbing kearah kesepakatan damai dengan cara musyawarah, duduk satu meja dengan prinsip kasih sayang.[16]
Hal tersebut terdapat dalam Al-Qur’an Surat Asy-Syura ayat 40 yang berbunyi :
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا  ۖ فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى الَّهِ  ۚإِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِيْنَ
Dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.
Nabi Muhammad selalu mengajarkan untuk selalu menghormati dan menghargai orang lain, baik dari golongan yang berbeda atau bahkan agama yang sama sekali berbeda.
Dalam pandangan Islam yang berperan sebagai wahyu, ajaran, serta nilai, tidak dipungkiri bahwa Islam adalah agama yang begitu toleran dan merupakan rahmat bagi semesta alam. Ajaran-ajaran Islam menuntun manusia untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Menghormati setiap hak asasi manusia, berjalan bersama, dan saling tolong menolong dalam kebaikan.
Kini saatnya para pemeluk semua agama mengembangkan tafsir baru atas wahyu yang mereka yakini yang termaktub dalam kitab suci masing-masing, yaitu suatu tafsir fungsional bagi proyek kemanusiaan dan keadilan bagi semua orang di luar batas kepemelukan dan paham keagamaan. Perolehan janji surgawi tak hanya dilihat dari ketaatan ritual, tetapi juga dari kepedulian terhadap si tertindas, miskin, dan menderita. Ukuran utama keagamaan dilihat dari keikhlasan dan kejujuran membela mereka yang tertindas, miskin, dan menderita tanpa melihat kepemelukan dan paham keagamaan.[17]
Oleh karena itu, misi suci dari semua agama perlu dikembangkan bagi sebuah proyek kemanusiaan, bukan penundukan semua manusia hanya pada agama yang dipeluknya sendiri. Dari sini, peradaban dunia bisa berharap pada keagamaan dan menempatkannya sebagai pelindung. Keagamaan baru di atas akan menampilkan Tuhan dan agama-Nya di dalam wajah yang lebih ramah dan manusiawi. Ketinggian keagamaan dan perolehan atas janji surgawi Tuhan bagi seseorang tidak semata-mata dilihat dari ketaaatan formal atas kontruksi ajaran konservatif. Janji Tuhan akan diberikan kepada mereka yang dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan membebaskan seluruh umat manusia dengan segala bentuk kepercayaan keagamaan dari segala macam penderitaan.[18]
Pendidikan multikultural memegang peranan penting dalam mewujudkan cita-cita mengenai kehidupan damai yang diimpikan bangsa yang plural ini. Kehidupan yang bernuansa keimanan dan ketakwaan terhadapa Tuhan Yang Maha Esa. Pendidikan multikultural bertugas mensosialisasikan dan menanamkan nilai-nilai kemajemukan sebagai suatu kazanah keilmuan yang harus diterima dan dipelajari oleh setiap peserta didik.
Paradigma tentang pendidikan multikultural dan upaya-upaya untuk penerapannya di Indonesia kini mendapat perhatian yang semakin besar karena relevansi dan urgensinya yang tinggi. Pengembangan pendidikan multikultural tersebut diharapkan dapat mewujudkan masyarakat multikultural, yaitu suatu masyarakat yang majemuk dari latar belakang etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai tekad dan cita-cita yang sama dalam membangun bangsa dan negara.

C. Urgensi Pendidikan Multikultural
Untuk mewujudkan multikultualisme dalam dunia pendidikan, maka pendidikan multikultural juga perlu dimasukkan ke dalam kurikulum nasional, yang pada akhirnya dapat menciptakan tatanan masyarakat Indonesia yang multicultural, serta upaya-upaya lain yang dilakukan guna mewujudkannya.
Choirul Mahfud (2006) berpendapat ada beberapa urgensi pendidikan multikultural jika melihat keberagaman yang ada di Indonesia, antara lain:
1.  Sebagai sarana alternatif pemecahan konflik
   Penyelenggaraan pendidikan multicultural di dunia pendidikan diyakini dapat menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di masyarakat, khususnya yang kerap terjadi di masyarakat Indonesia yang secara realitas plural. Dengan kata lain, pendidikan multicultural dapat menjadi sarana alternatif pemecahan konflik sosial budaya.[19]
2. Supaya Siswa Tidak Tercerabut dari Akar Budaya
   Selain sebagai sarana alternatif pemecahan konflik, pendidikan multikultural juga signifikan dalam membina siswa agar tidak tercerabut dari akar budaya yang ia miliki sebelumnya, tatkala dia berhadapan dengan realitas sosial-budaya di era globalisasi.[20]
   Melalui pendidikan multikultural, peserta didik tidak akan mudah terpengaruh dengan arus global yang terkadang membawa budaya baru yang akan berdampak pada perkembangan setiap peserta didik. Dengan maksud, peserta didik mampu mengelola budaya-budaya “asing” agar tidak menjadi dampak yang negative bagi dirinya maupun lingkungannya. Beragamnya budaya yang beradu, tidak menjadikan limpung. Peserta didik akan dapat memilah-memilah budaya yang masuk setelah mereka memahaminya.
3. Sebagai landasan pengembangan kurikulum nasional
  Dalam melakukan pengembangan kurikulum sebagai titik tolak dalam proses belajar mengajar, atau guna memberikan sejumlah materi dan isi pelajaran yang harus dikuasai oleh siswa dengan ukuran atau tingkatan tertentu, pendidikan multikultural sebagai landasan pengembangan kurikulum menjadi sangat penting.[21]
4. Menuju masyarakat Indonesia yang multikultural
   Dalam masyarakat multikultural ditegaskan, bahwa corak masyarakat Indonesia yang bhinneka tunggal ika ini bukan hanya dimaksudakan pada keanekaragaman suku bangsa saja, melainkan juga keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Eksistensi keberagaman kebudayaan tersebut selalu dijaga/terjaga yang bisa tampak dalam sikap saling menghargai, menghormati, toleransi antar satu kebudayaan dengan kebudayan lainnya. Dalam konteks ini ditegaskan, bahwa perbedaan bukan menjadi penghalang untuk bersatu padu meraih tujuan dan mewujudkan cita-cita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 dan Pancasila.[22]
   Pada awal memulai kehidupan di Madinah, langkah pertama yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW adalah menyatukan masyarakat Madinah dan sekitarnya yang terdiri dari beberapa suku dan agama. Langkah strategis ini telah melahirkan beberapa kesepakatan atau perjanjian yang biasa disebut “piagam madinah” yang meletakkan dasar-dasar kehidupan berbangsa dan bernegara bagi masyarakat majemuk. Dalam piagam madinah tersebut diatur hubungan antara sesama manusia atau pun sesama anggota komunitas Islam, dan antar anggota komunitas Islam satu dengan yang lainnya.
   Piagam madinah tersebut berisi; pertama, masyarakat Muslim dan Yahudi hidup berdampingan dan bebas menjalankan agamanya masing-masing, kedua, Apabila salah satu diperangi musuh yang lainnya membantu, dan ketiga, Apabila terjadi perselisihan penyelesaiannya diserahkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin tertinggi.[23]
   Nabi Muhammad selalu mengajarkan untuk selalu menghormati dan menghargai orang lain, baik dari golongan yang berbeda atau bahkan agama yang sama sekali berbeda. Terlihat pada isi piagam di atas, bahwa Islam mengajarkan kebaikan kepada setiap manusia. Islam sangat menjunjung dan menghargai setiap Hak Asasi Manusia (HAM).



BAB III
PENUTUP


Al-Qur’an sebagai kitab yang mengandung nilai-nilai universal, penyempurna kitab-kitab sebelumnya, dan penuntun bagi semua umat manusia juga telah menjelaskan mengenai keanekaragaman yang memang dikehendaki oleh Allah. Allah menciptakan manusia berjenis laki-laki dan perempuan, dan menjadikannya berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku, supaya mereka saling mengenal dengan baik antara satu dengan yang lain (QS. Al Hujurat 13). Orang yang beriman akan selalu berbuat baik terhadap sesama. Oleh sebab itu, Allah melarang mereka saling mengolok-olok dan saling mencela (QS Al Hujurat 11), Allah melarang manusia berprasangka buruk dan mempergunjingkan orang lain (QS al Hujurat 12). Allah menyuruh manusia untuk selalu bersikap adil, memperlakukan sama semua manusia, menghormati menghargainya, mengakui eksistensinya, dan menerima setiap perbedaan yang ada. Karena sesungguhnya, seluruh umat manusia adalah bersaudara. Hal tersebut merupakan isyarat multikulturalisme dalam Al-Qur’an, yang kemudian dikristalkan dalam satu misi atau jalan, yaitu pendidikan berbasis multikultural.
Pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang menjunjung tinggi HAM (Hak Asasi Manusia), menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Dalam pendidikan multikultural, tidak ada individu atau golongan yang paling baik atau paling unggul. Lebih jauh lagi, pendidikan multikultural tidak membenarkan adanya anggapan bahwa salah satu golongan manusia merasa paling benar, dan bahkan menganggap selainnya sama sekali salah. Perbedaan pemikiran atau pendapat, perbedaan kelas ekonomi atau kelas sosial, dan sampai kepada perbedaan suku, ras, budaya, dan lain sebagainya akan selalu menjadi pemicu konflik berkepanjangan jika tidak dikemas secara rapih. Pemikiran berparadigma eksklusif seperti di atas harus dirubah menjadi paradigma inklusif. Menjadikan toleransi sebagai pedoman dalam bersosial. Sikap menerima, bahwa orang lain berbeda dengan kita. Pendidikan multikultural dapat disampaikan kepada peserta didik dengan penambahan materi pengajaran dalam mata pelajaran, seperti mata pelajaran pendidikan agama Islam dan pendidikan kewarganegaraan.



BAB IV
DAFTAR PUSTAKA


Abdul Munir Mulkhan. Manusia Al Qur'an : Jalan Ketiga Religiositas di Indonesia. (Yogyakarta : Impulse 2007)
As’ad, Mahrus, dkk. Sejarah Kebudayaan Islam. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009)
Choirul Mahfudz, Pendidikan Multikultural (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014)
Dr. Ali Sodiqin, Antropologi Al-Qur’an : Model Dialektika Wahyu dan Budaya, (Yogyakarta, Ar-Ruzz Media Group, 2008)
H. Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, (Jakarta:Kencana, 2008)
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Tafsir Ibnu Qayyim : Tafsir Ayat-ayat Pilihan.(Jakarta Timur, Darul Falah, 2000)
M. Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan keserasian Al-Qur’an. Volume 14. Cet. VII (Jakarta, Lentera Hati, 2007)
M. Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan keserasian Al-Qur’an. Volume 1. Cet. VII (Jakarta, Lentera Hati, 2007)
M. Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan keserasian Al-Qur’an. Volume 3. Cet. VII (Jakarta, Lentera Hati, 2007)
M. Quraish Shihab.. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan keserasian Al-Qur’an. Volume 13. Cet. VII (Jakarta, Lentera Hati, 2007)
Muhammad Tholhah Hasan, Islam dalam Perspektif Sosio Kultural (Jakarta, Lantabora Press, 2005)
Prof. Dr. Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam : Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta, Pustaka Belajar, 2010)
Wahyunianto, Memburu Akar Pluralisme (Malang, UIIN Maliki Press, 2010)
Zakiyyuddin Baidhawy. Pendidikan Agama Berwawasan Multikulural. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005)



[1]  Dr. Ali Sodiqin, Antropologi Al-Qur’an : Model Dialektika Wahyu dan Budaya, (Yogyakarta, Ar-Ruzz Media Group, 2008), hlm. 201
[2]  Prof. Dr. Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam : Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta, Pustaka Belajar, 2010), hlm. 162
[3] Choirul Mahfudz, Pendidikan Multikultural (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hlm. 4-5

[4] Choirul Mahfudz, Pendidikan Multikultural (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hlm. 75
[5] Zakiyyuddin Baidhawy. Pendidikan Agama Berwawasan Multikulural. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005). Hlm. 6-7
[6] H. Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, (Jakata:Kencana, 2008) ,hlm  43.
[7] Ibid,. hlm 43
[8] Ibid,. hlm 43
[9]     Muhammad Tholhah Hasan, Islam dalam Perspektif Sosio Kultural (Jakarta, Lantabora Press, 2005), hlm. 141
[10]   Wahyunianto, Memburu Akar Pluralisme (Malang, UIIN Maliki Press, 2010), hlm. 69 – 70
[11] M. Quraish Shihab.. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan keserasian Al-Qur’an. Volume 13. Cet. VII (Jakarta, Lentera Hati, 2007). Hlm. 236

[12] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Tafsir Ibnu Qayyim : Tafsir Ayat-ayat Pilihan.(Jakarta Timur, Darul Falah, 2000). Hlm.526
[13] M. Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan keserasian Al-Qur’an. Volume 14. Cet. VII (Jakarta, Lentera Hati, 2007). Hlm. 77
[14] M. Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan keserasian Al-Qur’an. Volume 1. Cet. VII (Jakarta, Lentera Hati, 2007). Hlm. 381
[15] M. Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan keserasian Al-Qur’an. Volume 3. Cet. VII (Jakarta, Lentera Hati, 2007). Hlm. 9
[16] Zakiyyuddin Baidhawy. Pendidikan Agama Berwawasan Multikulural. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005). Hlm. 84
[17]  Abdul Munir Mulkhan. Manusia Al Qur'an : Jalan Ketiga Religiositas di Indonesia. (Yogyakarta : Impulse 2007), hlm. 319
[18]  Abdul Munir Mulkhan. Manusia Al Qur'an : Jalan Ketiga Religiositas di Indonesia. (Yogyakarta : Impulse 2007), hlm. 319 - 320
[19]  Choirul Mahfudz, Pendidikan Multikultural (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), Hlm. 208
[20]  Ibid, hlm. 210.
[21]  Ibid, hlm. 214.
[22] Ibid, hlm. 227.
[23] As‟ad, Mahrus, dkk. Sejarah Kebudayaan Islam. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009), hlm. 26