Makalah : Pendidikan Multikulturasi Perspektif Al-Qur'an
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Perspektif Al-Qur’an
TUGAS MATA
KULIAH STUDI AL- QUR’AN
Dosen Pengampu:
Dr. H. Abdul Mustaqim, M.Ag
Oleh:
Mukhlisul Fatih
NIM: 1420410194
PRODI MAGISTER
PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014
KATA
PENGANTAR
Segala
puji hanya kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat kepada setiap
hambanya. Diantara nikmat itu adalah terselesaikannya makalah yang sederhana
ini. Makalah ini dibuat dengan harapan sebagai pemenuhan tugas mata kuliah
Study Al-Qur’an. Selain itu juga untuk bisa dijadikan sebagai bahan wacana buat
teman-teman mahasiswa/i mengenai pemahaman pendidikan Multikulturalisme
perspektif Al-Qur’an.
Maka
dari makalah sederhana ini akan membahas tentang persoalan tersebut, namun
pepatah lama mengatakan “tiada gading yang tak retak”, begitu juga makalah ini
masih banyak kekurangan, baik dari segi pembahasan maupun sistematika
penulisan. Oleh karena itu besar harapan saya, pembaca dapat memberikan saran
bahkan ktritik yang membangun, agar dapat menambah khazanah keilmuan yang ada
dalam makalah ini. Akhirnya semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR
ISI
HALAMAN
JUDUL……………………………………………………................. i
KATA PENGANTAR …………………………………………………….……….
ii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………...
iii
PENDAHULUAN ………………………………………………………..………..
1
PEMBAHASAN
….………………………………………….………...………….. 3
A. Pokok-pokok Permasalahan ........................................................................
3
B. Pengertian
Multikulturalisme.......................................................................
4
C. Nilai-nilai
Pendidikan Multikultural dalam Al-Qur’an ............................... 6
D. Implementasi
pendidikan multikultural dalam pendidikan Islam .............. 10
PENUTUP
……………………….……………………...…..….……………...… 14
DAFTAR PUSTAKA
………………………………………………….………….15
BAB 1
PENDAHULUAN
Al-Qur’an diwahyukan
kepada Nabi Muhammad dan diteruskan kepada umatnya sebagai pedoman hidup.
Risalahnya tidak hanya berisi aturan-aturan hidup saja, tetapi juga metode
bagaimana menata dan mengorganisasikan kehidupan. Untuk itu ayat-ayat Al-Qur’an
tidak hanya dipahami arti tekstualnya, tetapi harus dipelajari bagaimana metode
enkulturasinya sebagai solusi masalah sosial waktu itu. Ajaran Al-Qur’an bagi
masyarakat Arab waktu itu adalah model bagi tatanan ideal yang kemudian di
transformasikan Nabi ke dalam sistem sosial masyarakat.[1]
Perubahan sosial dan
tata kehidupan yang mengiringi perjalanan sejarah kehidupan umat manusia
merupakan sunnah Allah, sehingga tidak mungkin kita menghentikan perubahan itu.
Akibat semakin berkembangnya tehnologi informasi mendorong komunikasi dan
interaksi antar budaya dan peradaban bangsa semakin intensif, maka globalisasi
yang disertai dengan perubahan sosial secara massif merupakan arus sejarah yang
tidak dapat dielakkan.[2]
Secara kasuistik, baru-baru
ini negara kita mengadakan Pemilu, dari legislatif hingga pemilihan Presiden
dan wakilnya serta pergantian Gubernur DKI Jakarta dari Jokowi kepada Ahok. Yang
paling mutakhir adalah kenaikan harga BBM bersubsidi. Beberapa hal tersebut ternyata
memberikan dampak yang luar biasa dalam pola pikir dan sudut pandang masyarakat
serta pensikapannya. Sangat kita rasakan adanya “perpecahan” yang semakin kuat
yang apabila tidak diantisipasi akan menimbulkan dampak yang lebih luas. Ada
pula secara internal keber-agama-an adanya perbedaan pendapat yang muncul
antara masyarakat Sunni
dan Syi’ah, Katholik dan Kristen, dan realitas terdekat adalah antara dua
organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam terbesar di Indonesia; NU dan
Muhammadiyah. Belum lagi fenomena konflik etnis, sosial, budaya, yang kerap
muncul di tengah-tengah masyarakat yang berwajah plural menyebabkan limpungnya
arah pendidikan dimasa depan. Dengan perkembangan yang sedemikian rupa, wacana
tentang pendidikan multikultural saat ini sering diperbincangkan disetiap
kalangan, baik dari kalangan politik, agama, sosial, budaya, dan khususnya
dikalangan para pemikir pendidikan.
Maka, menjadi keharusan
bagi kita bersama untuk memikirkan upaya pemecahannya (solution).
Termasuk pihak yang harus bertanggung jawab dalam hal ini adalah kalangan
pendidikan. Pendidikan sudah selayaknya berperan dalam menyelesaikan masalah
konflik yang terjadi di masyarakat. Minimal, pendidikan harus mampu memberikan
penyadaran (consciousness) kepada masyarakat bahwa konflik bukan suatu
hal yang baik untuk dibudayakan. Dan selayaknya pula, pendidikan mampu
memberikan tawaran-tawaran yang mencerdaskan, antara lain dengan cara mendesign
materi, metode, hingga kurikulum yang mampu menyadarkan masyarakat akan
pentingnya sikap saling toleran, menghormati perbedaan suku, agama, ras, etnis
dan budaya masyarakat indonesia yang multikultural. Sudah selayaknya pendidikan
berperan sebagai media transformasi sosial, budaya dan multikulturalisme.[3]
Islam memberikan
solusi, melalui Al-Qur’an mengajarkan hormat menghormati antara manusia satu
dengan yang lain, tidak ada perselisihan di antara manusia, Islam adalah agama
yang mengajarkan nilai-nilai yang universal dengan tujuan untuk memberikan
rahmat bagi semesta alam, (rahmatan lil’alamin) sehingga terdapat
ayat-ayat Al-Qur’an yang mengajarkan tentang perdamaian, kasih sayang, menghormati
perbedaan, dan lain sebagainya.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Pokok-pokok Permasalahan
Dari
latar belakang di atas, ada beberapa pokok permasalahan untuk dibahas dan dirumuskan
sebagai berikut :
1. Pengertian
Pendidikan Multikulturalisme
2. Ayat-Ayat
Al-Qur’an terkait Multikultural
3. Implementasi
Pendidikan
Multikultural
dalam pendidikan Islam
B. Pengertian Pendidikan Multikulturalisme
1. Pengertian Multikultural
Multikultural
adalah beberapa kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari
kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme
(aliran/paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan
martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya
masing-masing yang unik.[4]
Baidhawy
menyimpulkan mengenai pengertian pendidikan multikultural. Menurutnya,
ada dua istilah penting yang berdekatan secara makna dan merupakan suatu
perkembangan yang sinambung, yakni pendidikan multietnik dan pendidikan
multikultural. “Pendidikan Multietnik” sering dipergunakan di dunia pendidikan
sebagai suatu usaha sistematik dan berjenjang dalam rangka menjembatani
kelompok-kelompok rasial dan kelompok-kelompok etnik yang berbeda dan memiliki potensi
untuk melahirkan ketegangan dan konflik. Sementara itu istilah “Pendidikan Multikultural” memperluas payung
pendidikan multietnik sehingga memasukkan isu-isu lain seperti relasi gender,
hubungan antar agama, kelompok kepentingan, kebudayaan dan subkultur, serta
bentuk-bentuk lain dari keragaman. Kata “kebudayaan” lebih diadopsi dalam hal
ini daripada kata “rasisme” sehingga audiens dari pendidikan multikultural
semacam ini akan lebih mudah menerima dan mendengarkan.[5]
2. Pengertian Pendidikan islam
Berbagai pakar
telah merumuskan tentang pendidikan Islam, sebagai berikut:
1.
Ahmad. D. Marimba mengatakan bahwa pendidikan
Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani menuju terbentuknya kepribadian utama
menurut ukuran-ukuran Islam.[6]
2.
Saefuddin Anshari mengatakan pendidikan Islam
adalah proses bimbingan (pimpinan, tuntutan, susulan) oleh subjek didik
terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan dan kemauan, intuisi, dsb).[7]
3.
M. Yusuf al Qardawi mengatakan bahwa pendidikan
Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya akal dan hatinya, rohani dan
jasmaninya, akhlak dan keterampilannya.[8]
4.
Ahmad Tafsir mendefinisikan pendidikan Islam
sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara
maksimal sesuai dengan ajaran Islam.
Dari
pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah suatu sistem
yang dapat mengarahkan kehidupan peserta didik sesuai dengan ideologi Islam.
C. AYAT-AYAT AL-QUR’AN MULTIKULTURAL
Memahami Islam dalam
memandang dan menyikapi masalah-masalah sosial kemasyarakatan, hendaknya
memperhatikan dua dimensinya :
Pertama : Dimensi Tekstual, artinya
doktrin-doktrin atau nash-nash yang diberikan oleh Islam kepada umatnya,
melalui ayat Al-Qur’an atau sunnatur rasul, juga petunjuk-petunjuk para sahabat
nabi dan ulama melalui karya-karya ilmiah mereka
Kedua : Dimensi Kontekstual, artinya
yang menyangkut kondisi dan situasi umat serta fenomena-fenomena sosial yang
dipengaruhi oleh tuntutan wakytu dan tempat, sehingga menampilkan suatu citra
tertentu terhadap islam.[9]
Berikut ini beberapa ayat Al-Qur’an yang
berhubungan dengan Multikultural :
1. Belajar hidup dalam perbedaan
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا
خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُوْا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ
خَبِيْرٌ
"Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu, dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah, ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya,
Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Mengenal." (QS. Al-Hujuraat :13)
Ayat
di atas menjelaskan bahwa Allah SWT telah menciptakan makhluk-Nya, laki-laki dan
perempuan, dan menciptakan manusia berbangsa-bangsa, untuk menjalin hubungan
yang baik. Kata ta’aarafu pada ayat ini maksudnya bukan hanya
berinteraksi tetapi berinteraksi positif. Jadi dijadikannya makhluk dengan
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah dengan harapan bahwa satu dengan yang
lainnya dapat berinteraksi secara baik dan positif. Lalu dilanjutkan dengan …inna
akramakum ‘indallaahi atqaakum.. maksudnya, bahwa interaksi positif itu
sangat diharapkan menjadi prasyarat kedamaian di bumi ini. Namun, yang dinilai
terbaik di sisi Allah adlah mereka itu yang betul-betul dekat kepada Allah.[10]
Dalam
Al-Qur’an Surah Al-Maidah ayat 48 Allah berfirman:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ
بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا
عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلَا تَتَّبِعْ
أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً
وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ
لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللهِ مَرْجِعُكُمْ
جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيْهِ تَخْتَلِفُونَ (٤٨)٠
“Dan Kami telah menurunkan kitab (Al Qur'an) kepadamu (Muhammad) dengan
membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan
menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah
dan janganlah kamu mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran
yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan
aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya
satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah
diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada
Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang
dahulu kamu perselisihkan”.
Al-Qur’an surah
Ar-Ruum ayat 22:
وَمِنْ اٰيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأرْضِ
وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذٰلِكَ لِايَاتٍ لِّلْعَالِمِيْنَ
(٢٢)
“Dan di antara tanda-tanda (kekuasaan)-Nya ialah penciptaan langit dan
bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikan itu
benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang-orang yang
mengetahui”.
Al-Qur’an Surah Al-Baqarah
ayat 62:
إِنَّ الَّذِينَ اٰمَنُوا
وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ اٰمَنَ بِا للهِ وَالْيَوْمِ الْاخِرِ وَعَمِلَ
صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا
هُمْ يَحْزَنُوْنَ (٦٢)
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang
Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja (di antara)
mereka yang benar beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan
kebajikan, mereka mendapat pahala dari di sisi tuhan mereka, tak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka berduka cita.
Pendidikan selama ini lebih diorientasikan pada tiga
pilar pendidikan, yaitu menambah pengetahuan, pembekalan keterampilan hidup (life
skill), dan menekankan cara menjadi “orang” sesuai dengan kerangka berfikir
peserta didik. Realitasnya dalam kehidupan yang terus berkembang, ketiga pilar
tersebut kurang berhasil menjawab kondisi masyarakat yang semakin mengglobal.
Maka dari itu diperlukan satu pilar strategis yaitu belajar saling menghargai
akan perbedaan, sehingga akan terbangun relasi antara personal dan intra
personal. Dalam terminology Islam, realitas akan perbedaan tak dapat dipungkiri
lagi, sesuai dengan Q.S. Al-Hujurat ayat 13 yang menekankan bahwa Allah SWT
menciptakan manusia yang terdiri dari berbagai jenis kelamin, suku, bangsa,
serta interprestasi yang berbeda-beda.
2.
Membangun Saling Percaya dan saling pengertian.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ اٰمَنُوا
اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا
وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ
أَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَحِيْمٌ
"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan
janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kamu
menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu, memakan
daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat, lagi
Maha Penyayang." (QS. Al-Hujuraat :12)
Merupakan konsekuensi logis akan kemajemukan dan
kehegemonikan, maka diperlukan pendidikan yang berorientasi kepada kebersamaan dan
penanaman sikap toleran, demokratis, serta kesetaraan hak.
Implementasi menghargai perbedaan dimulai dengan
sikap saling menghargai dan menghormati dengan tetap menjunjung tinggi rasa
persatuan dan persaudaraan. Hal tersebut dalam Islam lazim disebut tasamuh
(toleransi).
Ayat-ayat
Al-Qur’an yang menekankan akan pentingnya saling percaya, pengertian, dan
menghargai orang lain, diantaranya ayat yang menganjurkan untuk menjauhi
berburuk sangka dan mencari kesalahan orang lain yaitu Al-Qur’an Surat al-Hujurat
ayat 12 tersebut di atas.
Tidak mudah menjatuhkan vonis dan selalu
mengedepankan klarifikasi (tabayyun) dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 6 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ اٰمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ
بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيْبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى
مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِيْنَ
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu
orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatanmu itu.[11]
An-naba’ dalam ayat ini berarti berarti berita yang
masih belum pasti disampaikan pembawa berita itu. At-tabayyun adalah mencari
penjelasan hakikat berita itu dan memeriksa seluk beluknya. Di sini terkandung
faedah yang lembut, bahwa Allah tidak memerintahkan untuk menolak beriyta yang
dibawa orang fasik, kebohongan atau kesaksiannya secara enyeluruh. Tapi hanya
perintah meneliti atau tabayyun. Jika komparasi-komparasi dan bukti-bukti lain
dari luar yang menunjukkan kebenarannya, maka berita yang dibawanya dapat
dilaksanakan dengan bukti yang benar, mskipun ada berita lain.[12]
3. Menjunjung tinggi saling menghargai
Islam selalu mengajarkan untuk selalu menghormati,
menghargai, dan berkasih sayang terhadap siapapun. Bahkan terhadap non muslim
pun, Allah mengajari manusia melalui Al-Qur’an yang mulia. Hal ini dapat kita
lihat dalam potongan ayat Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-An’am ayat 108:
وَلَا تَسُبُّوا
الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللهِ فَيَسُبُّوا اللهَ
عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا
لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ
بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang
mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat
menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali
mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”
(Q. S. Al An'am:
108)
4. Terbuka dalam berpikir
Pendidikan seyogyanya memberi pengetahuan baru
tentang bagaimana berfikir dan bertindak, bahkan mengadopsi dan beradaptasi
terhadap kultur baru yang berbeda, kemudian direspons dengan fikiran terbuka
dan tidak terkesan eksklusif. Peserta didik didorong untuk mengembangkan
kemampuan berfikir sehingga tidak ada kejumudan dan keterkekangan dalam
berfikir. Penghargaan Al-Qur’an terhadap mereka yang mempergunakan akal, bisa
dijadikan bukti representatif bahwa konsep ajaran Islam pun sangat responsif
terhadap konsep berfikir secara terbuka. Salah satunya ayat yang menerangkan
betapa tingginya derajat orang yang berilmu yaitu Qur’an Surat Al Mujaadillah
ayat 11 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا
فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ اٰمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ
دَرَجَاتٍ ۚ وَ اللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
خَبِيْرٌ
Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan
kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah
niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan:
"Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.[13]
Ayat yang menjelaskan bahwa Islam tidak mengenal
kejumudan dan dogmatisme, hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah
ayat 170 yang berbunyi :
وَإِذَا قِيْلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا
أَنْزَلَ اللهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا
أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ اٰبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ اٰبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُوْنَ شَيْئًا وَلَا
يَهْتَدُونَ
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah
apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi
Kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang
kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang
mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".[14]
5. Apresiasi dan Interdependensi
Karakteristik ini mengedepankan tatanan sosial yang care
(peduli), dimana semua anggota masyarakat dapat saling menunjukan apresiasi
dan memelihara relasi, keterikatan, kohesi, dan keterkaitan sosial yang rekat,
karena bagaimanapun juga manusia tidak bisa survive tanpa ikatan sosial yang
dinamis. Konsep seperti ini banyak termaktub dalam Al-Qur’an, salah satunya Q.S. Al-Maidah (5):
2 yang menerangkan betapa pentingnya prinsip tolong menolong dalam kebajikan,
memelihara solidaritas dan ikatan sosial (takwa), dengan menghindari tolong
menolong dalam kejahatan.
وَتَعَاوَنُوا
عَلَى الْبِرِّوَالتَّقْوٰى ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللهَ ۖ إِنَّ اللهَ شَدِيْدُ
الْعِقَابِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya.[15]
Redaksi
ayat tersebut mengisyaratkan bahwa tolong menolong yang dapat mengantarkan
manusia, baik sebagai individu atau kelompok, kepada sebuah tatanan masyarakat
yang kokoh dalam bingkai persatuan dan kebersamaan adalah tolong menolong dalam
hal kebaikan, kejujuran dan ketaatan.
6. Resolusi konflik dan rekonsiliasi
nirkekerasan
Konflik dalam berbagai hal harus dihindari, dan
pendidikan harus mengfungsikan diri sebagai satu cara dalam resolusi konflik.
Adapun resolusi konflik belum cukup tanpa rekonsiliasi, yakni upaya perdamaian
melalui sarana pengampunan atau memaafkan (forgiveness). Pemberian ampun
atau maaf dalam rekonsiliasi adalah tindakan tepat dalam situasi konflik
komunal. Dalam ajaran Islam, seluruh umat manusia harus mengedepankan
perdamaian, cinta damai dan rasa aman bagi seluruh makhluk. Juga secara tegas Al-Qur’an
menganjurkan untuk memberi maaf, membimbing kearah kesepakatan damai dengan
cara musyawarah, duduk satu meja dengan prinsip kasih sayang.[16]
Hal
tersebut terdapat dalam Al-Qur’an Surat Asy-Syura ayat 40 yang berbunyi :
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ
مِثْلُهَا ۖ فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ
فَأَجْرُهُ عَلَى الَّهِ ۚإِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِيْنَ
Dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang
serupa, Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas
(tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.
Nabi Muhammad selalu mengajarkan untuk selalu
menghormati dan menghargai orang lain, baik dari golongan yang berbeda atau
bahkan agama yang sama sekali berbeda.
Dalam pandangan Islam yang berperan sebagai wahyu,
ajaran, serta nilai, tidak dipungkiri bahwa Islam adalah agama yang begitu
toleran dan merupakan rahmat bagi semesta alam. Ajaran-ajaran Islam menuntun
manusia untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Menghormati setiap
hak asasi manusia, berjalan bersama, dan saling tolong menolong dalam kebaikan.
Kini saatnya para pemeluk semua agama mengembangkan
tafsir baru atas wahyu yang mereka yakini yang termaktub dalam kitab suci
masing-masing, yaitu suatu tafsir fungsional bagi proyek kemanusiaan dan
keadilan bagi semua orang di luar batas kepemelukan dan paham keagamaan.
Perolehan janji surgawi tak hanya dilihat dari ketaatan ritual, tetapi juga
dari kepedulian terhadap si tertindas, miskin, dan menderita. Ukuran utama
keagamaan dilihat dari keikhlasan dan kejujuran membela mereka yang tertindas,
miskin, dan menderita tanpa melihat kepemelukan dan paham keagamaan.[17]
Oleh karena itu, misi suci dari semua agama perlu
dikembangkan bagi sebuah proyek kemanusiaan, bukan penundukan semua manusia
hanya pada agama yang dipeluknya sendiri. Dari sini, peradaban dunia bisa
berharap pada keagamaan dan menempatkannya sebagai pelindung. Keagamaan baru di
atas akan menampilkan Tuhan dan agama-Nya di dalam wajah yang lebih ramah dan
manusiawi. Ketinggian keagamaan dan perolehan atas janji surgawi Tuhan bagi
seseorang tidak semata-mata dilihat dari ketaaatan formal atas kontruksi ajaran
konservatif. Janji Tuhan akan diberikan kepada mereka yang dengan penuh
keikhlasan dan kesungguhan membebaskan seluruh umat manusia dengan segala
bentuk kepercayaan keagamaan dari segala macam penderitaan.[18]
Pendidikan multikultural memegang peranan penting
dalam mewujudkan cita-cita mengenai kehidupan damai yang diimpikan bangsa yang
plural ini. Kehidupan yang bernuansa keimanan dan ketakwaan terhadapa Tuhan
Yang Maha Esa. Pendidikan multikultural bertugas mensosialisasikan dan menanamkan
nilai-nilai kemajemukan sebagai suatu kazanah keilmuan yang harus diterima dan
dipelajari oleh setiap peserta didik.
Paradigma tentang pendidikan multikultural dan
upaya-upaya untuk penerapannya di Indonesia kini mendapat perhatian yang
semakin besar karena relevansi dan urgensinya yang tinggi. Pengembangan pendidikan
multikultural tersebut diharapkan dapat mewujudkan masyarakat multikultural,
yaitu suatu masyarakat yang majemuk dari latar belakang etnis, budaya, agama
dan sebagainya, namun mempunyai tekad dan cita-cita yang sama dalam membangun
bangsa dan negara.
C. Urgensi Pendidikan Multikultural
Untuk mewujudkan multikultualisme dalam dunia
pendidikan, maka pendidikan multikultural juga perlu dimasukkan ke dalam
kurikulum nasional, yang pada akhirnya dapat menciptakan tatanan masyarakat
Indonesia yang multicultural, serta upaya-upaya lain yang dilakukan guna
mewujudkannya.
Choirul
Mahfud (2006) berpendapat ada beberapa urgensi pendidikan multikultural jika
melihat keberagaman yang ada di Indonesia, antara lain:
1. Sebagai sarana alternatif pemecahan konflik
Penyelenggaraan
pendidikan multicultural di dunia pendidikan diyakini dapat menjadi solusi
nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di masyarakat, khususnya
yang kerap terjadi di masyarakat Indonesia yang secara realitas plural. Dengan
kata lain, pendidikan multicultural dapat menjadi sarana alternatif pemecahan
konflik sosial budaya.[19]
2.
Supaya Siswa Tidak Tercerabut dari Akar Budaya
Selain
sebagai sarana alternatif pemecahan konflik, pendidikan multikultural juga
signifikan dalam membina siswa agar tidak tercerabut dari akar budaya yang ia
miliki sebelumnya, tatkala dia berhadapan dengan realitas sosial-budaya di era
globalisasi.[20]
Melalui
pendidikan multikultural, peserta didik tidak akan mudah terpengaruh dengan
arus global yang terkadang membawa budaya baru yang akan berdampak pada perkembangan
setiap peserta didik. Dengan maksud, peserta didik mampu mengelola
budaya-budaya “asing” agar tidak menjadi dampak yang negative bagi dirinya
maupun lingkungannya. Beragamnya budaya yang beradu, tidak menjadikan limpung.
Peserta didik akan dapat memilah-memilah budaya yang masuk setelah mereka
memahaminya.
3.
Sebagai landasan pengembangan kurikulum nasional
Dalam
melakukan pengembangan kurikulum sebagai titik tolak dalam proses belajar
mengajar, atau guna memberikan sejumlah materi dan isi pelajaran yang harus
dikuasai oleh siswa dengan ukuran atau tingkatan tertentu, pendidikan
multikultural sebagai landasan pengembangan kurikulum menjadi sangat penting.[21]
4.
Menuju masyarakat Indonesia yang multikultural
Dalam
masyarakat multikultural ditegaskan, bahwa corak masyarakat Indonesia yang
bhinneka tunggal ika ini bukan hanya dimaksudakan pada keanekaragaman suku
bangsa saja, melainkan juga keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat
Indonesia secara keseluruhan. Eksistensi keberagaman kebudayaan tersebut selalu
dijaga/terjaga yang bisa tampak dalam sikap saling menghargai, menghormati,
toleransi antar satu kebudayaan dengan kebudayan lainnya. Dalam konteks ini
ditegaskan, bahwa perbedaan bukan menjadi penghalang untuk bersatu padu meraih
tujuan dan mewujudkan cita-cita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 dan Pancasila.[22]
Pada awal memulai kehidupan di Madinah,
langkah pertama yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW adalah menyatukan
masyarakat Madinah dan sekitarnya yang terdiri dari beberapa suku dan agama.
Langkah strategis ini telah melahirkan beberapa kesepakatan atau perjanjian
yang biasa disebut “piagam madinah” yang meletakkan dasar-dasar kehidupan
berbangsa dan bernegara bagi masyarakat majemuk. Dalam piagam madinah tersebut
diatur hubungan antara sesama manusia atau pun sesama anggota komunitas Islam,
dan antar anggota komunitas Islam satu dengan yang lainnya.
Piagam madinah tersebut berisi; pertama, masyarakat
Muslim dan Yahudi hidup berdampingan dan bebas menjalankan agamanya
masing-masing, kedua, Apabila salah satu diperangi musuh yang lainnya
membantu, dan ketiga, Apabila terjadi perselisihan penyelesaiannya diserahkan
kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin tertinggi.[23]
Nabi Muhammad selalu mengajarkan untuk selalu menghormati dan menghargai
orang lain, baik dari golongan yang berbeda atau bahkan agama yang sama sekali
berbeda. Terlihat pada isi piagam di atas, bahwa Islam mengajarkan kebaikan
kepada setiap manusia. Islam sangat menjunjung dan menghargai setiap Hak Asasi
Manusia (HAM).
BAB III
PENUTUP
Al-Qur’an sebagai kitab
yang mengandung nilai-nilai universal, penyempurna kitab-kitab sebelumnya, dan
penuntun bagi semua umat manusia juga telah menjelaskan mengenai keanekaragaman
yang memang dikehendaki oleh Allah. Allah menciptakan manusia berjenis
laki-laki dan perempuan, dan menjadikannya berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku,
supaya mereka saling mengenal dengan baik antara satu dengan yang lain (QS. Al
Hujurat 13). Orang yang beriman akan selalu berbuat baik terhadap sesama. Oleh
sebab itu, Allah melarang mereka saling mengolok-olok dan saling mencela (QS Al
Hujurat 11), Allah melarang manusia berprasangka buruk dan mempergunjingkan
orang lain (QS al Hujurat 12). Allah menyuruh manusia untuk selalu bersikap
adil, memperlakukan sama semua manusia, menghormati menghargainya, mengakui
eksistensinya, dan menerima setiap perbedaan yang ada. Karena sesungguhnya,
seluruh umat manusia adalah bersaudara. Hal tersebut merupakan isyarat
multikulturalisme dalam Al-Qur’an, yang kemudian dikristalkan dalam satu misi
atau jalan, yaitu pendidikan berbasis multikultural.
Pendidikan
multikultural merupakan pendidikan yang menjunjung tinggi HAM (Hak Asasi
Manusia), menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Dalam pendidikan
multikultural, tidak ada individu atau golongan yang paling baik atau paling
unggul. Lebih jauh lagi, pendidikan multikultural tidak membenarkan adanya
anggapan bahwa salah satu golongan manusia merasa paling benar, dan bahkan
menganggap selainnya sama sekali salah. Perbedaan pemikiran atau pendapat,
perbedaan kelas ekonomi atau kelas sosial, dan sampai kepada perbedaan suku,
ras, budaya, dan lain sebagainya akan selalu menjadi pemicu konflik
berkepanjangan jika tidak dikemas secara rapih. Pemikiran berparadigma
eksklusif seperti di atas harus dirubah menjadi paradigma inklusif. Menjadikan
toleransi sebagai pedoman dalam bersosial. Sikap menerima, bahwa orang lain
berbeda dengan kita. Pendidikan multikultural dapat disampaikan kepada peserta
didik dengan penambahan materi pengajaran dalam mata pelajaran, seperti mata
pelajaran pendidikan agama Islam dan pendidikan kewarganegaraan.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Munir Mulkhan. Manusia Al Qur'an :
Jalan Ketiga Religiositas di Indonesia.
(Yogyakarta : Impulse 2007)
As’ad, Mahrus, dkk. Sejarah
Kebudayaan Islam. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009)
Choirul Mahfudz, Pendidikan Multikultural (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2014)
Dr. Ali Sodiqin, Antropologi Al-Qur’an : Model Dialektika Wahyu
dan Budaya, (Yogyakarta, Ar-Ruzz Media Group, 2008)
H. Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, (Jakarta:Kencana,
2008)
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Tafsir Ibnu Qayyim : Tafsir Ayat-ayat
Pilihan.(Jakarta Timur, Darul Falah, 2000)
M. Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan
keserasian Al-Qur’an. Volume 14. Cet. VII (Jakarta, Lentera Hati,
2007)
M. Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan
keserasian Al-Qur’an. Volume 1. Cet. VII (Jakarta, Lentera Hati,
2007)
M. Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan
keserasian Al-Qur’an. Volume 3. Cet. VII (Jakarta, Lentera Hati,
2007)
M. Quraish Shihab.. Tafsir
al-Misbah: Pesan, Kesan, dan keserasian Al-Qur’an. Volume 13. Cet. VII
(Jakarta, Lentera Hati, 2007)
Muhammad Tholhah Hasan, Islam dalam Perspektif Sosio Kultural
(Jakarta, Lantabora Press, 2005)
Prof. Dr. Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam : Paradigma
Humanisme Teosentris, (Yogyakarta, Pustaka Belajar, 2010)
Wahyunianto, Memburu Akar Pluralisme (Malang, UIIN Maliki
Press, 2010)
Zakiyyuddin Baidhawy. Pendidikan Agama Berwawasan Multikulural.
(Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005)
[1] Dr. Ali Sodiqin, Antropologi Al-Qur’an :
Model Dialektika Wahyu dan Budaya, (Yogyakarta, Ar-Ruzz Media Group, 2008),
hlm. 201
[2] Prof. Dr. Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam
: Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta, Pustaka Belajar, 2010), hlm. 162
[5] Zakiyyuddin
Baidhawy. Pendidikan Agama Berwawasan Multikulural. (Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2005). Hlm. 6-7
[6] H. Abuddin
Nata, Manajemen Pendidikan, (Jakata:Kencana, 2008) ,hlm 43.
[7] Ibid,.
hlm 43
[8] Ibid,.
hlm 43
[9] Muhammad
Tholhah Hasan, Islam dalam Perspektif Sosio Kultural (Jakarta, Lantabora Press,
2005), hlm. 141
[11] M.
Quraish Shihab.. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan keserasian Al-Qur’an. Volume
13. Cet. VII (Jakarta, Lentera Hati, 2007). Hlm. 236
[12] Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah, Tafsir Ibnu Qayyim : Tafsir Ayat-ayat Pilihan.(Jakarta Timur,
Darul Falah, 2000). Hlm.526
[13]
M. Quraish
Shihab. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan keserasian Al-Qur’an. Volume
14. Cet. VII (Jakarta, Lentera Hati, 2007). Hlm. 77
[14]
M. Quraish
Shihab. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan keserasian Al-Qur’an. Volume
1. Cet. VII (Jakarta, Lentera Hati, 2007). Hlm. 381
[15]
M. Quraish
Shihab. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan keserasian Al-Qur’an. Volume
3. Cet. VII (Jakarta, Lentera Hati, 2007). Hlm. 9
[16] Zakiyyuddin
Baidhawy. Pendidikan Agama Berwawasan Multikulural. (Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2005). Hlm. 84
[17]
Abdul Munir Mulkhan. Manusia Al Qur'an : Jalan Ketiga Religiositas di Indonesia. (Yogyakarta : Impulse
2007), hlm. 319
[18] Abdul Munir Mulkhan. Manusia Al Qur'an : Jalan Ketiga Religiositas di Indonesia. (Yogyakarta : Impulse
2007), hlm. 319 - 320
[23] As‟ad, Mahrus, dkk. Sejarah Kebudayaan Islam. (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2009), hlm. 26